waawww.....

waawww.....
biautiful of nature indonesia
Powered By Blogger
Powered By Blogger

Selasa, 17 Januari 2012

PERKEMBANGAN REFORMASI KEKUASAAN KEHAKIMAN



PERKEMBANGAN REFORMASI KEKUASAAN KEHAKIMAN

Bicara tentang reformasi kekuasaan kehakiman, kita tidak lepas dari reformasi pembentukan undang-undang (legislatif). Reformasi kekuasaan kehakiman tidak dapat dipisahkan dari reformasi dalam pembentukan undang-undang. Hakim selaku pelaku kekuasaan kehakiman harus tunduk pada undang-undang. Dalam memeriksa dan menjatuhkan putusannya hakim harus mengadili menurut undang-undang, tidak boleh melanggar undang-undang. Hakim harus tunduk pada undang-undang. Pembentukan undang-undang atau undang-undang itu sendiri besar pengaruhnya terhadap perilaku hakim, karena hakim harus mengadili menurut undang-undang dan tidak boleh melanggar undang-undang. Hakim terikat pada undang-undang.

Kalau kita memperhatikan perkembangan pembentukan undang-undang dewasa ini, saya mendapat kesan bahwa pembentukan undang-undang dewasa ini didorong oleh kepentingan sesaat, karena leinginan besar untuk mengubah berkat euphoria, karena merasa tertekan selama ini dan kepentingan kelompok.

Betapa tidak. Suatu undang-undang seyogyanya bersifat futuristic, yang berarti berlaku dalam kurun waktu yang (seberapa dapat) lama. Dewasa ini tidak sedikit undang-undang yang belum berumur satu tahun sudah direvisi atau diganti.

Banyak undang-undang dibentuk tanpa mengingat bahwa hukum itu merupakan satu sistem. Dalam mengadakan amandemen atau revisi undang-undang seringkali sistematik dilupakan. Duplikasi istilah atau terminologi menunjukan bahwa undang-undang tidak dilihat sebagai satu sistem.

Kekuasaan kehakiman diatur dalam UU no.4 tahun 2004 yang menggantikan UU no.14 tahun 1970. Pasal 1 UU no.4 tahun 2006 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggarannya Negara Hukum RI. Ini berarti bahwa hakim itu bebas dari pihak ekstra yudisiil dan bebas menemukan hukum dan keadilannnya. Akan tetapi kebebasannya tidak mutlak , tidak ada batas, melainkan dibatasi dari segi makro dan mikro. Dari segi makro dibatasi oleh sistem pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya, sedangkan dari segi mikro kebebasaan hakim dibatasi atau diawasi oleh Pancasila, UUD, UU, kesusilaan dan ketertiban umum. Dibatasinya kebebasan hakim tidaklah tanpa alasan, karena hakim adalah manusia yang yang tidak luput dari kekhilafan. Untuk mengurangi kekeliruan dalam menjatuhkan putusan maka kebebasan hakim perlu dibatasi dan putusannya perlu dikoreksi. Oleh karena itu asas peradilan yang baik (principle of good judicature) antara lain ialah adanya pengawasan dalam bentuk upaya hukum.

Pasal 2 UU no.4 tahun 2006 berbunyi bahwa kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Kostitusi. Pasal 11 UU no.4 tahun 2006 mengatakan bahwa MA merupakan pengadilan tertinggi dari keempat lingkungan peradilan, sedangkan pasal 12 berbunyi bahwa MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Dengan demikian sesudah tahun 2006 kita tidak lagi mempunyai pengadilan yang tertinggi. Bagaimanakah kedudukan MA & MK? Sebelum tahun 2006 kita mengenal apa yang dinamakan kesatuan (unifikasi) peradilan (eenheid van rechspraak). Dengan tidak adanyan pengadilan tinggi di NKRI ini maka tidak ada lagi kesatuan peradilan.

Kecuali oleh karena MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir maka tidak ada upaya hukum sama sekali. Semua lingkungan peradilan dibawah MA tersedia upaya hukum, sehingga putusan pengadilan di tingkat pertama dan kedua dilingkungan di bawah MA dimungkinkan untuk dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi, Dengan tidak adanya pengawasan maka kekuasaan MK adalah mutlak. Sistem ini tidak memenuhi principle of good judicature.

Peraturan hukum pidana di Indonesia itu, sepengetahuaan saya, berlaku umum. Yang berarti berlaku bagi setiap orang, tanpa pandang bulu, yang ada di wilayah NKRI. Di Aceh Nanggroe Darussalam seorang pencuri dihukum dengan hukuman cambuk, yang tayangannya kita lihat di tv berulangkali. Saya hanya bertanya apakah hal ini tidak bertentangan dengan sistem yang berlaku di Indonesia? Kedua sistem ini menjatuhkan hukuman badan yang tidak sama? Pertanyaan yang mengilitik saya ialah: apakah kalau ada seorang Aceh yang mencuru, tetapi belum sempat dihukum cambuk kemudian lari ke Jakarta, Gubenur Aceh dapat minta kepada Gubenur Jakarta untuk menyerahkan pencuri tersebut? Dalam satu Negara terdapat dua sistem hukum yang berbeda bahkan bertentangan satu sama lain.

Sepengetahuan saya suatu putusan (akhir) hakim (putusan yudikatif) harus bersifat definitive, tuntas dan tidak menimbulkan keraguan, putusan hakim harus dianggap benar (res judicata pro veretate habetur), yang berarti tidak mudah diubah atau di perbaiki , kecuali dengan upaya hukum. Putusan hakim adalah sabda pendita ratu, pantang untuk dijilat kembali. Berbeda dengan putusan eksekutif yang dapat dicabut atau diperbaiki oleh yang membuatnya.

Pasal 19 UU no.4 tahun 2004 ayat 3 mengatakan bahwa rapat musyawarah hakim adalah bersifat rahasia, yang berarti bahwa tidak boleh diketahui oleh umum atau diluar yang ikut musyawarah, sedang ayat 5 mengatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan (dissenting opinion).

Pendapat majelis hakim di dalam sidang musyawarah tidak mungkin selalu sama, perbedaan selalu mungkin terjadi. Diwaktu yang lampau maka perbedaan pendapat itu dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Putusannya merupakan mufakat bulat, jadi keluar putusan itu tidak meragukan atau membingungkan.

Kalau musyawarah itu bersifat rahasia dan putusan pada waktu diucapkan /dijatuhkan dilampiri pendapat yang berbeda, yang dibicarakan dalam musyawarah yang rahasia itu, dimana sifat rahasiannya mufakat tersebut. Disamping itu dilampirkannya putusan dari hakim yang berbeda dengan putusan yang mempunyai kekuatan hukum (sah?) apakah tidak membingungkan ? Satu putusan (yudikatif) mengandung dua pendapat yang berbeda. Putusan yang mengandung dua “Dictum” akan mengundang reaksi pihak yang dikalahkan atau pihak terhukum untuk menggunakan upaya hukum, walaupun dewasa tanpa adanya dissenting opinion itu boleh dikatakan yang dikalahkan atau yang dihukum selalu menggunakan upaya hukum, hanya alasannya disini adalah untuk mengulur waktu saja.

Apakah kriterium “berbeda” dan “tidak berbeda” dapat dianalogikan dengan yang “salah” dan “benar”, sebab yang “berbeda” yang harus dilampirkan pada yang “tidak berbeda” jadi dapat disimpulkan yang berlaku atau putusan yang dianggap benar atau sah adalah yang “tidak berbeda”.

Perubahan UUD NKRI merupakan pelaksanaan amanat reformasi yang dilakukan oleh MPR. Menurut pengetahuan saya UUD itu harus memuat hal-hal yang pokok atau mendasar. Apakah Komisi Yustisial itu merupakan sesuatu yang mendasar yang perlu dimuat dalam UUD? Komisi Yustisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Apakah hanya karena fungsinya “berkaitan” dengan kekuasaan kehakiman? maka itu merupakan alasan untuk dimuat dalam UUD. Apakah yang namanya “komisi” itu layak dimuat dalam UUD?

Meskipun pembuktiannya sukar, tetapi dapat dipastikan bahwa perilaku hakim yang berkaitan dengan moral masih mengecewakan.

Untuk meningkatkan reformasi hukum pada umumnya dan kekuasaan kehakiman pada khususnya guna meningkatkan supermasi hukum tidaklah cukup dengan memperbaiki hukumnya dengan mengubah atau merevisinya, tetapi yang lebih penting adalah meningkatkan SDMnya dari unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif, dari segi intelektual dan moral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar